Senin, 29 Oktober 2007

BUDAYA JEPANG MELALUI KACAMATA ORANG INDONESIA

BUDAYA JEPANG MELALUI KACAMATA ORANG INDONESIA

Berikut adalah tulisan Yuli Setyo Indartono, seorang mahasiswa S3 Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Japan. Tulisan ini cukup menarik, karena mampu melihat bagaimanakah budaya dan kebiasaan orang Jepang melalui kacamata orang Indonesia. Berikut adalah tulisan beliau, silahkan menikmati tulisan berikut.

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala; namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan universal terealisir yang menarik untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air tercinta. Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.

Kantor pemerintahan dan pelayanan publik Anda pernah melihat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat. Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan
fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan
tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau
walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas
Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya
harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan
(arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda
(untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal,
pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau
tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan"
dsb. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan
kejujuran. Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan
meningkat, sekaligus sangat efisien.

Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar
berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari
pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya
melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior
saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di
Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain
hari saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang
kurang lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk
orang-orang yang kurang beruntung.

Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di
Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta
untuk menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya
sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian
lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka
menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor
kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus
lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi
divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian
bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil jalan yang
mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai
di Jepang.

Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami
sempat terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga
10 kali lipat. Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami
bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah
kesalahan yang tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya
telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan
kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula
berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya
sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak
lanjut. Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu,
istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk
meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya di rumah malam
harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas
lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa
dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan
shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut. Saya
hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang keliru tidak
akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam bekerja, secara umum,
menyangkut kehormatan di negara ini.

Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang
akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00
(jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam
resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan
mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya membuktikan
pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor
walikota (shiyakusho) . Sebagian besar lampu di kantor itu masih
menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor
tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini
berarti, mereka semua memiliki niat bekerja - versi Jepang.

Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian
Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan dengan bandrol
murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah
mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada
permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang
disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut,
penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit
cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat
kami membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan
"daijobu" (tidak apa-apa), karena kami sudah melihatnya dari awal.
Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian
yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur
tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti
betul bahwa kejujuran adalah prasyarat utama keberhasilan dalam
berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam jumlah besar, bila
nantinya akan kehilangan pelanggan.

Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima
uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera
pada slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang
terkecil di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen
sebagai pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek
berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan
Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending
machine (mesin penjual otomatis) di se-antero Jepang. Meski bagi
sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa
menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli.

Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan"
anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa
meluncur ke lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak
pecah akibat keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang
mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket
melihat dan segera mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru.
Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya,
karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami. Bahkan
pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat
kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami,
dengan ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak
apa-apa).

Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk
sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas
supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan
sebuah barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada
anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang
yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah
memastikan bahwa everything is ok.

Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket di Jepang
demikian banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam
supermarket yang sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas
selalu sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka selalu bergerak -
seperti semut. Di sebuah toko elektronik, seorang petugas yang
menjelaskan spesifikasi komputer yang anda tanyai adalah juga kasir
tempat anda membayar serta petugas yang melakukan packing akhir
terhadap komputer yang anda beli.

Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi
Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe
demi melihat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah
dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan
metafora.

Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah
mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi
kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang,
posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan
Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila saya
mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya serupa benar
dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau.

Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek
terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang -
mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak
atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya melihat
ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara
dengan sistem network yang sangat baik ini. Ke mana pun anda lari,
kesitu pula polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri anda.
Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa polisi di sini lebih
pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan (decision maker) - kedua
fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot dan
berisi. Tak heran saya melihat mas-mas polisi muda berkacamata
melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat,
mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan
bekerja.

Lingkungan hidup dan transportasi
Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini
hampir separuh populasi Republik tercinta. Di sisi lain, wilayah
negara ini didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni.
Pegunungan yang tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah
Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat pada daerah
pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah penduduk
terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di
mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni,
dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan
kebersihan.

Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat
aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda
memandang, maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih
dan rapi. Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan,
bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa
ruang (space) yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus
rapi dan tertata. Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang
siap untuk digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai
dengan karakteristik mereka yang senantiasa well-prepared dalam
berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang
pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan
menggerakkan anggota tubuhnya sendiri.

Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati
psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang
belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang
mempersiapkan
dialog dengan dokternya.

Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus,
kereta (lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat
terbang (antar wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di
Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk memiliki kendaraan
sendiri - kecuali bila anda tinggal di country-side yang tidak
memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta
antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di Jepang.
Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas
kereta di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan
shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan
polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN
sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang,
tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena,
praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2.

Nasehat "tengoklah duru kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan"
mungkin tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di
tempat yang telah disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang
pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda akan
selamat sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan. Saat
berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan
menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir terserempet motor;
lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini.
Kesehatan dan rumah sakit

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu
memajukan bangsa dan negaranya. Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe
University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun
sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi
dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan
untuk mengikuti program asuransi nasional. Dengan mengikuti program
ini, kami hanya perlu membayar 30% dari biaya berobat. Dari yang 30%
tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan
potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari
Kementrian Pendidikan Jepang.

Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang
jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan
rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya
bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi
asuransi yang saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi
nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi
menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang.

Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan
memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi
- apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga
tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang
tidak berkurang serta prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di
sini berarti keramahan yang sebenar-benarnya.

Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah
sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah
sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi
pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan
bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari
dia harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah kami mendapatkan
keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa
melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu, tagihan dari
Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga baru
datang dua bulan kemudian. Saling percaya adalah kuncinya.

Tidak ada komentar: